Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TOBELO
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
3/Pid.Pra/2021/PN TOB HASAN SLAMET Kepala Kepolisian RI Cq KAPOLDA Maluku Utara Cq KAPOLRES Halmahera Utara, Cq KAPOLSEK Galela Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 21 Jul. 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 3/Pid.Pra/2021/PN TOB
Tanggal Surat Rabu, 21 Jul. 2021
Nomor Surat 2/ADV.PID/RAR/IV/2021
Pemohon
NoNama
1HASAN SLAMET
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian RI Cq KAPOLDA Maluku Utara Cq KAPOLRES Halmahera Utara, Cq KAPOLSEK Galela
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Kepada Yang Terhormat,
Ketua Pengadilan Negeri Tobelo
Di
Tobelo,-

Perihal : PERMOHONAN PRAPERADILAN

Dengan Hormat,
Perkenankan Kami, RAMLI ANTULA, S.H., SODIKIN TEKY, S.H., &M RIZAL ABD GAFUR, S.H.,Selaku Advokat.Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 21Juni 2021 (terlampir) yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tobelo pada tanggal 19Juli 2021 dengan Nomor : 169/SK/2021/PN TOB., dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama:
HASAN SLAMET,    Laki-laki, Lahir di Soakonora, 12 Oktober 1977, Agama Islam, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Desa Soakonora, Kecamatan Galela Selatan, Kabupaten Halmahera Utara;
Selanjutnya disebut sebagaiPEMOHON
Dengan ini mengajukan PERMOHONAN PRAPERADILAN Terhadap:
Kepala Kepolisian Republik Indonesia C.q Kepala Kepolisian Daerah Maluku Utara C.q Kepala Kepolisian Resor Halmahera Utara, Cq Kepala Kepolisian Sektor Galela Beralamat di Jl. Balisosa No. 1 Soasio-GalelaKabupaten Halmahera Utara;

Untuk selanjutnya disebut sebagai:TERMOHON


Adapun alasan-alasan Pemohon dalam mengajukan PERMOHONAN PRAPERADILAN adalah sebagai berikut:
DASARPERMOHONAN PRAPERADILAN
1.    Bahwa Rangkaian Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut;
2.    Bahwa Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan terjamin. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;
3.    Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan:
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3.    Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
4.    Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1.    sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2.    ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
5.    Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang;
6.    Bahwa kewajiban Negara untuk menegakkan dan melindungi Hak Asasi Manusia sesuai Prinsip Negara Hukum yang Demokratis yang mengharuskan pelaksanaan Hak Asasi Manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-undangan (Vide Pasal 28I ayat (5) UUD 1945), Hukum Acara Pidana merupakan salah satu implementasi dari Penegakan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai ketentuan Konstitusional dalam UUD 1945, hal demikian sesuai pula dengan salah satu Prinsip Negara Hukum yang Demokratis, yaitu Due Procces Of Law;
7.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengabulkan Permohonan untuk sebagian:
•    Dst...
•    Dst...
•    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
•    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
8.    Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan;
9.    Bahwa Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XII/2015 Tanggal 19 Desember 2015yang berbunyi:
Mengabulkan Permohonan untuk sebagian:
(1)    Dst..
(2)    Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum,terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”;
(3)    Dst...
(4)    Dst...
10.    Bahwa menguji keabsahan penetapan status Tersangka adalah untuk menguji tindakan–tindakan penyidik, apakah bersesuaian dengan ketentuan-ketentuan,  dasar-dasar mengenai penyidikan yang termuat dalam KUHAP, mengingat penetapan status tersangka seseorang adalah kunci utama dari tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum berupa upaya paksa, baik berupa pencegahan, penggeledahan, penyitaan maupun penahanan. Dengan kata lain, adanya status tersangka itu menjadi alas hukum bagi aparat penegak hukum untuk melakukan suatu upaya paksa terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Artinya, seseorang tidak dapat ditangkap atau ditahan atau dilakukan pencegahan tanpa adanya keadaan menyangkut status seseorang yang telah ditetapkan sebagai Tersangka;
11.    Bahwa pengujian keabsahan penetapan Tersangka adalah melalui lembaga Praperadilan, karena penetapan sebagai Tersangka ini adalah dasar hukum untuk dapat dilakukan upaya paksa terhadap seorang warga Negara, yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, sehingga pranata hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah Praperadilan;
12.    Bahwa Para Pemohon merupakan warga Negara Republik Indonesia berhakuntukmemperolehkeadilanberdasarkan Pasal 17 Undang-undangRepublik Indonesia  No.39 Tahun 1999 tentangHakAsasiManusia, menyatakan:
”Setiap orang, berhakuntukmemperolehkeadilandenganmengajukanpermohonan, pengaduan, dangugatan, baikdalamperkarapidana, perdata, maupunadministrasisertadiadilimelalui proses peradilan yang bebasdantidakmemihak, sesuaidengan hukum acara yang menjaminpemeriksaan yang objektifoleh hakim yang jujurdanadiluntukmemperolehputusan yang adildanbenar“.

ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
1.    Bahwa dengan adanya Laporan Polisi Nomor: LP/02/III/2021/SPKT/Sek Galela Pada Tanggal 09Maret 2021sebagaimana yang menjadi Dasar dalam Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/03/VI/2021/Reskrim Tertanggal 03 Juni 2021 (Vide Bukti- P1) dan Laporan Polisi Nomor: LP/06/III/2021/SPKT/Sek Galela Pada Tanggal 29 April 2021sebagaimana yang menjadi Dasar dalam Surat Perintah Penangkapan Nomor SP-Kap/03/VI/2021/Reskrim 03 Juni 2021 (Vide Bukti-P2);
2.    Bahwa dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/04/VI/2021/ReskrimTanggal 02 Juni 2021 yang menjadi rujukan diterbitkannya Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/03/VI/2021/Reskrim Tertanggal 03 Juni 2021 dan Surat Perintah Penangkapan Nomor SP-Kap/03/VI/2021/Reskrim 03 Juni 2021, Tetapi yang membuat adanya ketidak pastian hukum adalah terdapat 2 (dua) Laporan Polisi yang berbeda yakni Laporan Polisi Nomor: LP/02/III/2021/SPKT/Sek Galela Pada Tanggal 09Maret 2021 dan Laporan Polisi Nomor: LP/06/III/2021/SPKT/Sek Galela Pada Tanggal 29 April 2021 sebagaimana yang telah diuraikan diatas;
3.    Bahwa sejak diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/04/VI/2021/ReskrimTanggal 02 Juni 2021, Pemohon tidak diberikan tembusan/disampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh Termohon, padahal Pemohon sebagai Terlapor yang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XII/2015 menjadi suatu kewajiban bagi Pihak Termohon untuk menyampaikan SPDP kepada Pemohon;
4.    Bahwa Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 130/PUU-XII/2015 “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum (Kejaksaan Negeri Halmahera Utara),terlapor (Pemohon), dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”;
5.    Bahwa terkait dengan Pengiriman SPDP kepada Pemohon sebagai Terlapor bersifat wajib dan jika tidak disampaikan, secara jelas melanggar Hak Konstitusional Pemohon sebagimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945;
6.    Bahwa Pengiriman SPDP telah secara jelas menjadi sesuatu yang berimplikasi hukum terhadap rangkaian Penyidikan, sebagaimana disebutkan dalam beberapa Putusan Praperadilan diantaranya yakni dalam Putusan Praperadilan Nomor: 02/Pid.Pra/2018/PN TOB dan Nomor 03/Pid.Pra/2018/2018/PN TOB yang dalam Pertimbangan Hakim sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa adanya kata wajib tersebut jelas menegaskan adanya bahwa penyerahan SPDP kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor adalah ketentuan yang imperative atau memaksa bagi penyidik dan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut menimbulkan implikasi hukum”
7.    BahwaPemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka tanpa terlebihdahulu Diperiksa untuk diambil keterangan sebagai calon Tersangkasehubungan dengan Penyidikan dimaksud dalam Perkara Pemohon, berdasarkan ketentuanPasal 1 angka 2 KUHAP, yang berbunyi “Penyidikan adalah serangkaiantindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalamundang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yangdengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi danguna menemukan tersangkanya”. Dengan demikian makna daripenyidikan harus terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buktiuntuk membuat terang tentang Tindak Pidana yang menjerat Pemohon. Dari bukti-buktitersebut kemudian baru ditetapkan Tersangkanya (Vide Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 “Menimbang bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan pemeriksaan calon tersangka disamping minimal dua alat bukti tersebut diatas, adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditentukan Penyidik................dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang Penyidik didalam menetapkan seseorang sebagai tersangka”);
8.    Bahwa dengan pertimbangan tersebut Termohon harus meminta keterangan terlebih dahulu kepada Pemohon terkait perkara dimaksud sebagai calon tersangka disamping telah memiliki dua alat bukti yang sah;
9.    BahwaPenetapanTersangka yang dilakukanolehTermohon terhadapPemohontidak pernah diberi Tembusan Surat Penetapan Tersangka, Pemohon selama dalam menghadapi proses penyidikan hanya diberi tembusan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/03/VI/2021/Reskrim Tertanggal 03 Juni 2021, Surat Perintah Penangkapan Nomor SP-Kap/03/VI/2021/Reskrim 03 Juni 2021 dan Surat Perintah Perpanjangan Penahanan Nomor: SP.Han/03.b/VI/2021/Reskrim Tertanggal 23 Juni 2021 (Vide Bukti-P3)sehingga Penetapan Pemohon sebagai Tersangka tidaksahkarena tidak sesuai Ketentuan-Ketentuan dalam KUHAP dan Putusan MK 21/ PUU–XII /2014;
10.    Bahwasesuai ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP“Tersangka adalahseorang yang karenaperbuatannyaataukeadaannyaberdasarkanbuktipermulaanpatutdidugasebagaipelakutindakpidana”; Pemohon selain telah diperiksa lebih dahulu, Termohon harus sudah memilik dua alat bukti yang sah terlebih dahulu (vide Putusan MK 21/PUU-XII/2014);
11.    Bahwa norma Pasal 1 angka 14 KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi telah diputus dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 dengan amar berbunyi:
-    1.1 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana  ditentukan dalam pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
-    Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana  ditentukan dalam pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
12.    Bahwa berdasarkan amar Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, maka Norma Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai: “TERSANGKA ADALAH SESORANG YANG KARENA PERBUATANNYA ATAU KEADAANYA, BERDASARKAN MINIMAL DUA ALAT BUKTI YANG TERMUAT DALAM PASAL 184 PATUT DIDUGA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA”
13.    Bahwa dalam PERMA Nomor 4 Tahun 2016 Pasal 2 ayat (2) menyebutkan “Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah adapaling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara”;
14.    Bahwa untuk menguji alat bukti yang sah dari aspek formil (bukan pembuktian dalam unsur-unsur tindak pidana), yang pada prinsipnya alat bukti yang sah tersebut didapat dalam rangkaian penyidikan;
15.    Bahwa Penyidikan dimulai setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/04/VI/2021/ReskrimTanggal 02 Juni 2021, untuk menghindari kesewenang-wenangan, sepatutnya Pemohon diperiksa dulu sebagai calon tersangka sebagaimana yang telah diuraikan diatas bukan langsung dilakukan penagkapan dan penahanan pada tanggal 03 Juni 2021, satu hari setelah dimulainya penyidikan dalam perkara A Quo; (Vide Putusan 03/Pid.Pra/2018/PN TOB)

PETITUM
Berdasarkansegalaapa yang telahdiuraikan diatas makapemohon memohonkepadaKetuaPengadilanNegeriTobeloC.q Hakim Tunggal yang memeriksadanmengadiliperkaraini. Selanjutnya, Pemohonmohonputusansebagaiberikut :
1.    Menerimadanmengabulkanpermohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/04/VI/2021/ReskrimTanggal 02 Juni 2021, Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/03/VI/2021/Reskrim Tertanggal 03 Juni 2021, Surat Perintah Penangkapan Nomor SP-Kap/03/VI/2021/Reskrim 03 Juni 2021 dan Surat Perintah Perpanjangan Penahanan Nomor: SP.Han/03.b/VI/2021/Reskrim Tertanggal 23 Juni 2021, mengakibatkan segala keputusan dan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon termasuk yang berkenaan dengan penetapan tersangkadan Upaya Paksa lainnya adalah cacat hukum dan batal demi hukum;
3.    MenyatakanPenetapan status Tersangka yang dilakukanolehTermohoncacathukum, bertentangandenganhukum, dantidakberkekuatan hukum;
4.    Memerintahkan kepada Termohon agar segera mengeluarkan/membebaskanPemohon dari Rumah Tahanan Polres Halmahera Utara;
5.    Memulihkan hak-hak Pemohon, baik dalam kedudukan, kemampuan harkat serta martabatnya;
6.    Memerintahkan Termohon untuk mematuhi Putusan dalam Perkara ini;
7.    MenghukumTermohonuntukmembayarbiayaperkara.
Atau jika Ketua Pengadilan Negeri Tobelo Cq Yang Mulia Hakim Tungggal yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini berpendapat lain, Mohon Putusan yang seadil-adilnya.(Et Aequo Et Bono).

TOBELO,21JULI 2021
PENASEHAT HUKUM

 

RAMLI ANTULA, S.H.


SODIKIN TEKY, S.H.


M RIZAL ABD GAFUR, S.H.

 

 

Pihak Dipublikasikan Ya