Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TOBELO
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
5/Pid.Pra/2021/PN TOB 1.Pdt. Dr. Demianus Ice, Mth
2.Pdt. Anton Piga, Mth
3.Zeth Hohakay
4.Pdt. Pordenatus Sangadi, Sth
Kapolri C.q Kapolda Malut C.q Kapolres Halut Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 20 Agu. 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 5/Pid.Pra/2021/PN TOB
Tanggal Surat Jumat, 20 Agu. 2021
Nomor Surat 24/ANM/Adv.96.10392/VIII/2021
Pemohon
NoNama
1Pdt. Dr. Demianus Ice, Mth
2Pdt. Anton Piga, Mth
3Zeth Hohakay
4Pdt. Pordenatus Sangadi, Sth
Termohon
NoNama
1Kapolri C.q Kapolda Malut C.q Kapolres Halut
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

 
ARNOLD N.MUSA & Partners
Advocates & Legal Consultans
Jl. Banau, Desa Soakonora/Jati, Kec. Jailolo, Kab.Halmahera Barat, Prov. Maluku Utara, 97752                       HP 081340069497 Email : arnoldlowyer@gmail.com
Tobelo, 20Agustus 2021
Kepada Yth,
Ketua Pengadilan Negeri Tobelo
Di Tobelo
Melalui:
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tobelo
Jl.Siswa  No.17-TobeloHalmahera Utara

Perihal    :        Permohonan Praperadilan
Dengan Hormat,
Perkenankanlah kami :
1.    Arnold N. Musa, SH.MH.
2.    Selfianus Laritmas, SH.MH.
3.    Ernest Sengi, SH.,MH.
4.    Herry Hiorumu, SH.M.Si.
Para Advokat/Pengacara dan Konsultan Hukum, pada Kantor Advokat Arnold N. Musa & Rekan, berkantor di Jl. Banau Soakonora-Jati, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Sementara berada di Tobelo beralamat di Kantor Sinode GMIH Jl. Kemakmuraan, Desa Gamsungi, Kecamatan Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara-----------------------------------------------------------
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 19 Agustus2021 yang telah di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tobelo;
Bertindak baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk dan atas nama:
1.    Nama             : Pdt. Dr. Demianus Ice, MTh.
Tempat/Tgl.Lahir    : Loumadoro, 31 Desember 1969
Umur            : 51 Tahun
Jenis Kelamin     : Laki-Laki
Alamat        : Desa WKO, Kec. Tobelo Tengah, Kab. Halut
Agama         : Kristen Protestan
Pekerjaan         : Pendeta
Kewarganegaraan     : Indonesia
2.    Nama            : Pdt. Anton Piga, MTh.
Tempat/Tgl.Lahir    : Ekor, 14 April 1965
Umur            : 56 Tahun
Jenis Kelamin     : Laki-Laki
Alamat        : Desa WKO, Kec. Tobelo Tengah, Kab. Halut
Agama         : Kristen Protestan
Pekerjaan         : Pendeta
Kewarganegaraan     : Indonesia
3.    Nama            : Zeth Hohakay
Tempat/Tgl.Lahir    : Tobelo 10 Juli 1936
Umur            : 85 Tahun
Jenis Kelamin     : Laki-Laki
Alamat        : Desa Lina Ino, Kec. Tobelo Tengah, Kab. Halut
Agama         : Kristen Protestan
Pekerjaan         : Swasta
Kewarganegaraan     : Indonesia
4.    Nama            : Pdt. Pordenatus Sangadi, STh.
Tempat/Tgl.Lahir    : Goro-Goro, 13 Mei 1966
Umur            : 55 Tahun
Jenis Kelamin     : Laki-Laki
Alamat        : Desa Gosoma, Kec. Tobelo, Kab. Halut
Agama         : Kristen Protestan
Pekerjaan         : Pendeta
Kewarganegaraan     : Indonesia

Selanjutnya secara kolektif disebut sebagaiPEMOHONdan secara sendiri-sendiri secara berurutan disebut PEMOHON I, PEMOHON II, PEMOHON III, PEMOHON IV.
——————————–M E L A W A N——————————–
Kepala Kepolisian Negara Republik IndonesiaCq.Kepala Kepolisian Daerah Maluku UtaraCq.Kepala Kepolisan Resort Halmahera Utara yang beralamat di Jl. Kawasan Pemerintahan, Kabupaten Halmahera Utara, selanjutnya disebut sebagai TERMOHON;
-------------Untuk mengajukan permohonan Praperadilan dalam perkara dugaan Tindak pidana Pemalsuan Surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) jo. Pasal 55 KUHP,oleh Polres Halmahera Utara; dimana Pemohon prinsipal saat ini telah ditetapkan sebagai Tersangka;
-----------Secara limitatif normatif, dasar hukum mengajukan Praperadilan diatur dalam BAB X Pasal 77 KUHAP.Namun seiring berkembangnya hukum, Mahkamah Konstitusi kemudian memperluas objek Praperadilan demi menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia sehinggaDasar Hukum pengajuan permohonan Praperadilan juga diatursebagai berikut :
A.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut:
Mengadili,
Menyatakan :
•    Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
•    [dst]
•    [dst]
•    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
•    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015,Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan.
B.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 memperkuat diakuinya lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), seperti pada kutipan amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 sebagai berikut:
Mengadili:
1.    Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian;
2.    Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (lembaran negara republik indonesia tahn 1981 nomor 76, tambahan lembaran negara nomor 3209) bertentangan dengan undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ... penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.. tidak dimaknai ... penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan..
3.    Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya;
4.    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negararepublik indonesia sebagaimana mestinya.
Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) merupakan bagian dari wewenang Praperadilan.
C.    Bahwa permohonan Praperadilan ini diajukan berdasarkan Pasal 2 Ayat  (2) PERMA No. 04 tahun 2016 yang menyebut:
Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.
Bahwa berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka cukup berdasar bagi Pemohon untuk mengajukan Praperadilan dengan  beberapa alasan hukum sebagai berikut:
1.    TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA
1.1.    Bahwa dalam perkara aquo Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Polres Halmahera Utara dalam dugaan sebagai pelaku tindak pidana Pemalsuan Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) jo. Pasal 55 KUHP;
1.2.    Dalam perkara pidana tidak mudah menetapkan seseorang menjadi tersangka. Selain karena perkara pidana bertujuan mencari kebenaran materil dalam arti kebenaran yang hakiki, penetapan seseorang menjadi tersangka berpotensi melanggar hak asasi seseorang jika kemudian nantinya yang bersangkutan bukanlah pelaku sebenarnya. Dengan demikian, penyidik harus punya konstruksi hukum yang matang terkait dengan dugaan tindak pidana yang hendak dituduhkan terhadap seseorang (calon tersangka) dalam hal ini unsur kesalahan (schuld) dan sikap batin calon tersangka diduga kuat memenuhi pertanggungjawaban pidana atas dugaan tindak pidana yang disangkakan;
Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan :
“Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau kesalahannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”
Dalam KUHAP tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan “Bukti Permulaan”, namun dalam doktrin ilmu hukum lazimnya merujuk pada jenis-jenis alat bukti sebagaimana diuraikan dalam Pasal 184 KUHAP;
1.3.    Bahwa  syarat penetapan tersangka diatur dalam KUHAP yang kemudian telah disempurnakan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, dimana dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan:
1)    Minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan
2)    Disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.
Pasal 184 (1) KUHAP tersebut menguraikanalat bukti yang sah ialah:
1)    keterangan saksi;
2)    keterangan ahli;
3)    surat;
4)    petunjuk;
5)    keterangan terdakwa.
Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, memberikan pengertian tentang “bukti yang cukup” yaitu berdasarkan dua alat bukti ditambah keyakinan penyidik yang secara objektif (dapat diuji objektivitasnya) mendasarkan kepada dua alat bukti tersebut telah terjadi tindak pidana dan seseorang sebagai tersangka pelaku tindak pidana;
Selanjutnya, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Perkap Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.
1.4.    Bahwa penentuan ada tidaknya tindak pidana dan juga pelaku tindak pidananya ditentukan oleh bukti yang berhasil ditemukan penyidik; dengan kata lain tidak akan ada tindak pidana ditemukan dan juga tidak akan ada pelaku (tersangka) yang dapat ditemukan apabila penyidik gagal menemukan bukti yang dimaksud;
1.5.    Bahwa seperti yang telah diuraikan sebelumnya dalam Pasal 1 angka 14 menentukan bahwa yang dimaksud dengan tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaanpatut diduga sebagai pelaku tindak pidana.Dengan demikian,Penentuan status seseorang menjadi tersangka oleh penyidik yang tidak didasarkan bukti, merupakan tindakan sewenang-wenang dan merupakan bentuk pelanggaran hak konstitusional warga negara berdasarkan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, selain itu juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yag sama di hadapan hukum;
1.6.    Bahwa dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka dugaan tindak pidana Pemalsuan Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 jo. Pasal 55 KUHP, Termohon tidak cermat dalam menyimpulkan bukti permulaan yang cukup. Seperti diketahui bahwa Termohon dalam perkara aquo menetapkan Pemohon sebagai tersangka berdasarkan kesimpulan atasbukti Surat Penyerahan Hak Atas Tanah GMIH yang diduga palsudan Pemeriksaan beberapa orang saksi;
1.7.    Bahwa perlu dijelaskan bahwa bukti Surat Penyerahan Hak Atas Tanah GMIH Nomor: BPHS/2213/B-10/XXVII/2012 tertanggal 24 Oktober 2012 adalah produk internal administrasi Gereja dimana dapat diberikan kepada siapa saja berdasarkan mekanisme yang telah disepakati. Dalam isi Surat Penyerahan Hak Atas Tanah GMIH Nomor: BPHS/2213/B-10/XXVII/2012, tertanggal 24 Oktober 2012  Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS) dalam hal ini Pemohon I dan Pemohon II bertindak sebagai Pihak Pertama dan Zeth Hohakay atau Pemohon III bertindak sebagai Pihak Kedua dalam penyerahan Hak Atas Sebidang Tanah dengan ukuran 40 x 15 M2.Dalam surat tersebut yang bertindak sebagai saksi yakni Pemohon IV Pdt. Pordenatus Sangadi dan Yohanes Fennes.
1.8.    Bahwa alasan Termohon menyebut bahwa Surat Penyerahan Hak Atas Tanah GMIH Nomor: BPHS/2213/B-10/XXVII/2012 tertanggal 24 Oktober 2012  merupakan palsu adalah tidak berlasan hukum. Hal mana dengan alasan pertama, bahwa Pemohon yang menandatangani surat tersebut adalah pengurus BPHS yang sah pada Tahun 2012; kedua, objek tanah yang diserahkan adalah benar-benar tanah milik Gereja dibawah penguasaan Badan Usaha Milik Gereja(BUMG) yang telah diserahkan kepada Pemohon III Zeth Hohakay Tahun 2012 namun administrasinya baru dibuat di Tahun 2020 karena yang bersangkutan masih di luar Kota sehingga diberlakukan surut; ketiga, tidak ada keberatan, komplain atau kerugian dari pihak-pihak yang terlibat dalam isi Surat Penyerahan Hak Atas Tanah GMIH Nomor: BPHS/2213/B-10/XXVII/2012 tertanggal 24 Oktober 2012 tersebut.
1.9.    Bahwa terkait tanda tangan Pemohon IV Pdt. Pordenatus Sangadi juga merupakan sah dan tidak dipalsukan. Perlu diketahui bahwa pada Tahun 2012 terjadi konflik kepengerusan GMIH sehingga pada saat itu Ketua BUMG tidak ada yang menjabat atau terjadi kekosongan. Saat itulah Pemohon IV Pdt. Pordenatus Sangadi ditugaskan sementara menjadi pengurus BUMG dan dapat mendatangani administrasi.
1.10.    Bahwa terkait meterai yang ditempelkan juga tidak dipalsukan karena memang meterainya asli hanya saja Pemohon lalai dan tidak memperhatikan pemberlakuannya sehingga menggunakannya. Hal ini dapat dibenarkan karena memang meterai tersebut masih beredar dan diperjualbelikan.
1.11.    Bahwa berdasarkan apa yang telah diuraikan, nyatalah bahwa Surat Penyerahan Hak Atas Tanah GMIH Nomor: BPHS/2213/B-10/XXVII/2012 tertanggal 24 Oktober 2012 hanya diberlakukan surut demi menyesuaikan administrasi dengan periode kepengurusan BPHS yang lama; dengan demikian perbuatan Termohon bukanlah merupakan perbuatan pidana melainkan perbuatan mal administrasi sehingga mestinya akibat hukumnya direvisi atau diperbaiki kekeliruan dimaksud.
1.12.    Bahwa andaikan perbuatan Pemohon merupakan perbuatan pidana, mestinya pembuktian Surat Penyerahan Hak Atas Tanah GMIH Nomor: BPHS/2213/B-10/XXVII/2012 tertanggal 24 Oktober 2012 Termohon wajib menyertakan bukti pembanding atau keterangan resmi ahli forensik tentang identik atau non identik isi surat dimaksud namun nyatanya tidak ada pemeriksaan forensik.
1.13.    Bahwa berdasarkan apa yang telah diuraikan maka Surat Penyerahan Hak Atas Tanah GMIH Nomor: BPHS/2213/B-10/XXVII/2012 tertanggal 24 Oktober 2012 tidak dapat digunakan sebagai alat bukti surat dalam perkara aquo dan karenanya harus dikesampingkan.
1.14.    Bahwa terkait alat bukti saksi yang telah diperiksa dalam perkara aquo yakni Pdt. Saberpat S. Duan, Pdt. Lewian Sambaimana, Pdt. Williams Ruddy Tindage dan Pdt. Mesak Panyiranana merupakan alat bukti saksi yang tidak bisa diterima sebagai alat bukti. Hal tersebut karena pertama, para saksi bukanlah pengurus BPHS GMIH; kedua, para saksi tidak dirugikan dan tidak memiliki legal standing untuk melapor karena tidak punya hubungan hukum dengan isi Surat Penyerahan Hak Atas Tanah GMIH Nomor: BPHS/2213/B-10/XXVII/2012 tertanggal 24 Oktober 2012  sehingga keterangan para saksi tersebut tidak dapat diterima sehingga haruslah dikesampingkan dan tidak bernilai sebagai alat bukti. Tentang hal ini oleh Guru Besar Hukum Pidana Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Teori dan Hukum Pembuktian (2012) menyebutnya dengan corroboarting evidence; artinya alat bukti yang satu dianggap sah sebagai alat bukti jika memenuhi syarat pertama relevan; kedua dapat diterima (admissible). Dengan demikian, “bukti permulaan yang cukup” yang dalam doktrin mengarah pada 2 alat bukti yang sah menurut Eddy O.S. Hiariej tidak selalu didasarkan pada aspek kuantitas/jumlah alat bukti tetapi kualitas dari alat bukti tersebut.
1.15.    Bahwa terkait alat bukti surat dari Dirjen Bimas Kristen RI Nomor: B-549/DJ.IV/BA.01.1/10/2019tertanggal 28 Oktober 2019 merupakan alat bukti yang relevan tetapi tidak bisa diterima sebagai alat bukti yang sah. Alat bukti tersebut justru memperpanjang konflik Gereja yang sudah mengarah ke rekonsiliasi ditambah lagiDirjen Bimas Kristen RI tidak berwenang menafsir isi putusan Pengadilan sebab terlihat Surat Dirjen Bimas Kristen RItersebut telah menambah amar baru pada putusan pengadilan yang bukan menjadi kewenangannya. Penjelasan atas suatu putusan Pengadilan Sengketa Kepengurusan GMIH yakni Putusan Pengadilan Negeri Tobelo No. 68/Pdt.G/2015/PN.TOB, jo. Putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara No. 06/Pdt./2017/TTE, Jo. Putusan Mahkmah Agung RI No. 3016 K/Pdt./2017, jo. Putusan Peninjauan Kembali No. 300/PKPdt/2019, sudah selesai berdasarkan isi diktum atau amar putusan yang telah inkarcht. Hal tersebut didukung pula dengan penjelasan Ketua Pengadilan Tinggi Maluku Utara No.W28-U/1327/HK.02/11/2019tertanggal 18 November 2019 yang pada intinya menyebut bahwaputusan tersebut tidak memiliki kekuatan Eksekutorial dan tidak ada yang Sah atau Tidak Sah seperti isi Surat Dirjen Bimas Kristen RI tersebut; oleh karenanya alat bukti Surat Dirjen Bimas Kristen RI patutlah dikesampingkan.Tentang hal ini oleh Guru Besar Hukum Pidana Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Teori dan Hukum Pembuktian (2012) menyebutnya alat bukti yang satu dianggap sah sebagai alat bukti jika memenuhi syarat pertama relevan; kedua dapat diterima (admissible).
1.16.    Bahwa dengan merujuk pada pengertian “bukti permulaan yang cukup” sebagaimana dalam doktrin mengarah pada 2 alat bukti yang sah, maka Termohon tidak memiliki bukti yang cukup untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana Pemalsuan Surat sebagaimana Pasal 263 jo. Pasal 55 KUHP;
2.    PENETAPAN TERSANGKA TIDAK OBJEKTIF
2.1.    Bahwa dalam perkara aquo Pemohon ditetapkan tersangka berdasarkan  Surat Keputusan Nomor: Skep/65/VIII/2021/Reskrim terdiri dari 4 orang tersangka yakni Pdt. DR. Demianus Ice, MTh, Pdt. Pordenatus Sangadi, Pdt. Anton Piga, M.Si, dan Zeth Hohakay;
2.2.    Bahwa Termohon dalam menetapkan Tersangka sangat tergesa-gesa dan terkesan mengesampingkan Hak Asasi Tersangka dalam hal melakukan pembelaan-pembelaan hukum. Hal mana terlihat pada pertama, setelah adanya Laporan Polisi, Termohon tidak melakukan Penyelidikan termasuk memeriksa calon tersangka dan langsung melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka padahal pemeriksaan calon tersangka wajib dilakukan sesuai perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, dimana dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan: pertama, Minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan kedua, Disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.
2.3.    Bahwa seandainya Pemohon diperiksa dalam tahapan Penyelidikan, Pemohon dapat menyampaikan bukti-bukti pembanding sehingga dapat disandingkan dengan substansi laporan dugaan tindak pidana apakah memenuhi syarat untuk diteruskan ke tingkat penyidikan atau tidak; namun nyatanya tidak dilakukan penyelidikan peristiwa pidana oleh Termohon sehingga pemeriksaan perkara pidana seperti ini bertentangan dengan Hak Asasi Pemohon dan harus dinyatakan cacat hukum.
2.4.    Bahwa kesan tergesa-gesa dari Termohon dalam melakukan penyidikan dan menetapkan Pemohon sebagai tersangka juga terlihat pada subjek yang ditetapkan sebagai tersangka. Seperti diketahui dalam perkara ini Pemohon diduga memalsukan dokumen surat sehingga diancam dengan Pasal 263 jo. Pasal 55 KUHP. Jika dilihat subastansi surat tersebut, ternyata dalam Surat Penyerahan Hak Atas Tanah GMIH Nomor: BPHS/2213/B-10/XXVII/2012 tertanggal 24 Oktober 2012  yang diduga palsu tidak hanya ditandatangani oleh 4 Pemohon sebagai tersangka melainkan terdapat 5 orang tetapi anehnya 1 orang atas nama Yohanes Fennes tidak ditetapkan sebagai tersangka. Paling tidak, jika Yohanes Fennes tidak masuk dalam kategori Penyertaan Tindak Pidana (Deelneming), yang bersangkutan dapat diikat dengan Pasal 56 KUHP tetapi nyatanya tidak dilakukan Termohon sehingga hal demikian sangatlah tidak objektif dan karenanya proses penyidikan Termohon haruslah dinyatakan batal demi hukum.
2.5.    Bahwa penetapan tersangka, Termohon keliru karena hal yang dimasalahkan merupakan mal administrasi dan dapat diperbaiki dengan cara merevisi atau memperbaiki substansi surat jika ada yang keberatan atau komplain atau merasa dirugikan, namun nyatanya tidak. Dengan demikian Termohon terkesan tergesa-gesa menetapkan Pemohon sebagai tersangka. Berkaitan dengan hal tersebut, Andi Hamzah dan M.A. Kuffal dalam bukunya D.Y. Witanto tentang Hukum Acara Praperadilan dalam Teori dan Praktek; Mengurai Konflik Norma dan Kekeliruan dalam Praktek Penanganan Perkara Praperadilan (2019 : 210), menyebut:
“untuk melakukan penetapan tersangka, penyelidik dan penyidik harus menghindari terjadinya upaya penegakan hukum secara tergesa-gesa dan kurang berhati-hati atau kurang cermat yang seringkali menyebabkan petugas penegak hukum tergelincir dalam tindakan yang kurang meghargai harkat  martabat manusia seperti pada masa – masa yang lalu”  hal demkian adalah tepat karena dalam Integratet Criminal JusticeSystem (sistem peradilan pidana terpadu), kesalahan pada tahap penyidikan sebagai pintu pertama, dapat berpotensi salah dalam proses penegakan hukum selanjutnya.
3.    SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP) DAN PENYIDIKAN OLEH TERMOHON TIDAK SAH
3.1.    Ketentuan dalam Pasal 109 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). yakni: "Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum".
3.2.    Bahwa penyampaian SPDP kepada jaksa penuntut umum adalah kewajiban penyidik untuk menyampaikannya sejak dimulainya proses penyidikan, sehingga proses penyidikan tersebut berada dalam pengendalian penuntut umum sebagai bentuk koordinasi dan kontrol dalam sistem peradilan pidana. Faktanya, yang terjadi selama ini kadangkala SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung lama. Adanya alasan tertundanya penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, hal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas due process of law seperti dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
3.3.    Bahwa terkait tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor. Karena itu, terpenting bagi Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor: 130/PUU-XIII/2015menyatakan pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum, tetapi juga diwajibkan terhadap terlapor dan korban/pelapor;
3.4.    Selain itu, SPDP harus diserahkan selambat-lambatnya tujuh (7) harisetelah dinyatakan bahwa kasus yang ditangani dinaikkan statusnya ke tahap penyidikan, sebagaimana yang ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstistusi Nomor: 130/PUU-XIII/2015;
3.5.    Bahwa dalam perkara aquo laporan polisi oleh Pelapor terjadi tanggal 09 April 2021 dengan Nomor LP/90/IV/2021/PMU/Polres Halut/SPKT; bahwa dalam laporan polisi tersebut yang menjadi Terlapor adalah Pemohon, namun SPDP baru dikirim tanggal 19 April 2021 dengan Nomor: SPDP/50/IV/2021/Reskrim;
3.6.    Bahwa dalam perkara aquo Termohon tidak melakukan pemeriksaan penyelidikan (SP-Lidik) peristiwa pidana melainkan langsung melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka sebagaimana dalam konsideran Surat Keputusan Nomor Skep/65/VIII/2021/Reskrim, tertanggal 05 Agustus 2021 tidak terdapat Surat Perintah Penyelidikan perkara aquo. Hal ini tentu melanggar asas-asas hukum acara pidana dimana penyelidikan sangat penting dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam menetapkan peristiwa tertentu apakah merupakan peristiwa atau perbuatan pidana atau tidak. Dengan demikian penyidikan yang dilakukan Termohon petutlah dinyatakan tidak sah;
PETITUM:
Berdasar pada argumen dan fakta-fakta yuridis tersebut di atas, mohon kepada Hakim Pengadilan Negeri Tobelo yang memeriksa dan mengadili perkara aquo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1.    Mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP. Sidik/51/IV/2021/Reskrim, Tanggal 19April 2021; Mengakibatkan segala keputusan dan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon termasuk yang berkenaan dengan Penetapan Tersangka dan upaya paksa lainnya adalah cacat hukum dan batal demi hukum;
3.    Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan proses penyidikan terhadap Pemohon;
4.    Menyatakan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor : SPDP/50/IV2021/Reskrim, adalah Cacat Hukum dan Batal Demi Hukum
5.    Menyatakan Penetapan status Tersangka para Pemohon yang dilakukan oleh Termohon berdasarkan Surat Keputusan Nomor Skep/65/VIII/2021/Reskrim tentang Penetapan Tersangka, tertanggal 05 Agustus 2021 adalah tidak sah;
6.    Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
7.    Memerintahkan  Termohon untuk mematuhi putusan dalam perkara ini;
8.    Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Apabila Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Tobelo yang memeriksa dan mengadili perkara aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Hormat kami,
Kuasa Hukum Pemohon


ARNOLD N. MUSA, SH.,MH


HERRY HIORUMU, SH.,M.Si


SELFIANUS LARITMAS, S.H.,M.H


ERNEST SENGI, S.H.,M.H

 

Pihak Dipublikasikan Ya