Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TOBELO
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
6/Pid.Pra/2021/PN TOB GERSONSIUS KALAM Kapolri C.q Kapolda Malut C.q Kapolres Halut Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 03 Nov. 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 6/Pid.Pra/2021/PN TOB
Tanggal Surat Rabu, 03 Nov. 2021
Nomor Surat 025/ARG_SK/X/2021
Pemohon
NoNama
1GERSONSIUS KALAM
Termohon
NoNama
1Kapolri C.q Kapolda Malut C.q Kapolres Halut
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Tobelo,  03 November 2021
Kepada,
YM.  KETUA PENGADILAN NEGERI TOBELO
Di Pengadilan Negeri Tobelo


Perihal    :         Permohonan Praperadilan atas Nama GERSONSIUS KALAM

Dengan Hormat,
Perkenankanlah saya :
Apriyanto Rikardo Gihedemo.,SH., Selaku advokat yang berkantor di ”APRIYANTO RIKARDO GIHEDEMO,SH & REKAN” Law Office, beralamat di Jln Raya Wosia, Desa Wosia Kecamatan Tobelo Tengah Kabupaten Halmahera utara propinsi Maluku Utara.
----------Dalam hal ini berdasarkan surat kuasa khusus yang telah diregistrasi di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tobelo, bertindak untuk dan atas nama:
GERSONSIUS KALAM,  Jenis kelamin Laki-laki, Lahir di Daruba, tanggal 15 November 1986, Pekerjaan: Wiraswasta, Agama Kristen Protestas, Alamat Desa Tanjung Niara, Kec. Tobelo Tengah, Kab. Halmahera Utara, Kebangsaan Indonesia;
---------Selanjutnya disebut sebagai                      Pemohon
——————————–M E L A W A N——————————–
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Maluku Utara Cq. Kepala Kepolisan Resort Halmahera Utara  yang beralamat di Jl. Kawasan Pemerintahan, Kabupaten Halmahera Utara, selanjutnya disebut sebagai TERMOHON;

-------------Untuk mengajukan permohonan Praperadilan dalam perkara dugaan Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 dan/atau Pasal 9 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 KUHP, oleh Polres Halmahera Utara.
Adapun yang menjadi Dasar Hukum pengajuan permohonan Praperadilan ini yang adalah sebagai berikut :
1.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 memperkuat diakuinya lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), seperti pada kutipan amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 sebagai berikut:
Mengadili:
1.    Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian;
2.    Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (lembaran negara republik indonesia tahn 1981 nomor 76, tambahan lembaran negara nomor 3209) bertentangan dengan undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ... penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.. tidak dimaknai ... penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan..
3.    Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya;
4.    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara republik indonesia sebagaimana mestinya.
Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 bahwa terkait Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
2.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut:
Mengadili,
Menyatakan :
•    Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
•    [dst]
•    [dst]
•    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
•    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
3.    Bahwa PERMOHONAN PRAPERADILAN ini diajukan berdasarkan Ketentuan PERMA No 04 tahun 2016
Pasal 2 Ayat  (2) :
Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.
4.    Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
5.    Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu, perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.
Bahwa berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka cukup alasan bagi Pemohon untuk mengajukan upaya Praperadilan dengan  beberapa alasan hukum sebagai berikut :

1.    Tindakan penyidikan oleh termohon atas diri pemohon adalah TIDAK SAH, karena Termohon tidak menyerahkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Pemohon.
1.1.    Bahwa Pemohon adalah merupakan Terlapor sebagaimana termuat dalam Laporan Polisi Nomor : LP/161/VI/2020/PMU/Polres Halut/SPKT, tanggal 05 Juni 2020 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp-Sidik/92/VI/2020/Reskrim, tertanggal 05 Juni 2020;
1.2.    Bahwa selanjutnya pada tanggal 27 Agustus 2021 oleh Termohon menerbitkan surat panggilan nomor : S.Pgl/667/VIII/2021/Reskrim terhadap diri Pemohon yang dalam surat tersebut status Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka;
1.3.    Bahwa selain surat panggilan nomor : S.Pgl/667/VIII/2021/Reskrim, Termohon juga melampirkan surat keputusan nomor : SKEP/82/VIII/2021/Reskrim tentang Penetapan Tersangka. Selanjutnya, dilampirkan pula Surat Pemberitahuan Identitas Tersangka Nomor : R/161/VIII/2021/Reskrim;
1.4.    Bahwa oleh Termohon hanya menyerahkan 3 (tiga) buah surat sebagaimana disebut di atas kepada Pemohon, Termohon tidak sama sekali melampirkan ataupun menyerahkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Pemohon yang statusnya adalah sebagai Terlapor sejak awal diterbitkannya Laporan Polisi, bahkan hingga Pemohon telah ditetapkkan sebagai Tersangka dalam perkara a quo;
1.5.    Bahwa jika dihitung sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp-Sidik/92/VI/2020/Reskrim tertanggal 05 Juni 2020, hingga diajukannya permohonan praperadilan ini ke Pengadilan Negeri Tobelo, maka sudah kurang lebih 485 hari (empat ratus delapn puluh lima) Termohon belum menyerahkan SPDP kepada Pemohon;
1.6.    Bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), sewajibnya diserahkan oleh Termohon selambat-lambatnya 7 hari (tujuh) setelah dinyatakan bahwa kasus yang ditangani dinaikkan statusnya ke tahap penyidikan atau dengan kata lain bahwa sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan, sebagaimana yang ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstistusi Nomor: 130/PUU-XIII/2015;
1.7.    Alasan Mahkamah Konstitusi didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan dapat menunjuk penasihat hukumnya. Sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembalian penyidikan atas laporannya. Oleh karenanya, SPDP wajib diserahkan atau diberitahukan oleh penyidik kepada para pihak (penuntut umum, terlapor dan pelapor) paling lambat tujuh (7) hari setelah diterbitkannya surat perintah penyidikan;
1.8.    Selain itu, Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, pada Pasal 14 menjelaskan:
Pasal 14
1)    SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3)
dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban,
dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.
2)    SPDP paling sedikit memuat:
a.    dasar penyidikan berupa laporan polisi dan Surat
Perintah Penyidikan;
b.    waktu dimulainya penyidikan;
c.    jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan
uraian singkat tindak pidana yang disidik;
d.    identitas tersangka; dan
e.    identitas pejabat yang menandatangani SPDP.
3)    Identitas tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d, tidak perlu dicantumkan dalam SPDP, bila
Penyidik belum dapat menetapkan tersangka.
4)    Dalam hal Tersangka ditetapkan setelah lebih dari
7 (tujuh) hari diterbitkan Surat Perintah Penyidikan,
dikirimkan surat pemberitahuan penetapan tersangka
dengan dilampirkan SPDP sebelumnya.
5)    Apabila Penyidik belum menyerahkan berkas perkara
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kepada Jaksa Penuntut
Umum, Penyidik wajib memberitahukan perkembangan
perkara dengan melampirkan SPDP.
1.9.    Bahwa sebagaimana dijelaskan pada ayat (1) pasal 14 tersebut di atas, jelas mengatur bahwa Penyidik/Termohon sewajibnya mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Terlapor dalam hal ini Pemohon, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan;
1.10.    Selanjutnya, bahwa Pengiriman SPDP telah secara jelas menjadi sesuatu yang berimplikasi hukum terhadap rangkaian penyidikan, sebagaimana yang disebut dalam beberapa putusan Praperadilan yaitu dalam Putusan Praperadilan Nomor. 2/Pid.Pra/2018/PN.Tob yang dalam pertimbangan Hakim sebagai berikut:
...Menimbang, bahwa adanya kata wajib tersebut jelas menegaskan adanya bahwa penyerahan SPDP kepada Penuntut Umum, Terlapor dan Pelapor adalah ketentuan yang imperative atau memaksa bagi penyidik dan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut menimbulkan implikasi hukum...
1.11.    Selain itu, dalam putusan Praperadilan Nomor : 3/Pid.Pra/2018/PN.Tob, yang mengabulkan permohonan Praperadilan  terkait tidak adanya SPDP oleh pihak penyidik, yang dalam pertimbangan Hakim adalah sebagai berikut:
....Menimbang, bahwa setelah mencermati rentan waktu antara diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan  tertanggal 10 Agustus 2017 dan SPDP yang baru disampaikan Termohon pada tanggal 15 Oktober 2018, yang artinya setelah kurang lebih 430 hari kemudian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan diterima Pemohon, hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XII/2015..;
1.12.    Bahwa menurut Maruarar Siahaan, Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat konstitutif, artinya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengandung pengertian hapusnya hukum lama dan sekaligus membentuk hukum yang baru, hal ini membawa keharusan bagi addresat Putusan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk Norma Hukum Baru yang bersesuai dengan UUD 1945 (Maruarar Siahaan, UUD 1945 Konstitusi yang hidup, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008. Hlm.52);
1.13.    Bahwa oleh karena tindakan penyidik/Termohon yang tidak menyerahkan atau memberitahukan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Terlapor dalam hal ini Pemohon adalah merupakan sebuah tindakan yang berimplikasi hukum, maka sudah sepatutnya terhadap tindakan penyidikan oleh Termohon yang dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp-Sidik/92/VI/2020/Reskrim, tertanggal 05 Juni 2020 haruslah dinyatakan Cacat Hukum dan Batal Demi Hukum;
1.14.    Bahwa sebagaimana yang telah diuraikan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tindakan Termohon yang tidak menyerahkan atau memberitahukan SPDP kepada Pemohon dalam waktu 7 hari sebagaimana yang ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 130/PUU-XII/2015 serta sebagaimana yang diatur dalam PERKAP nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana dalam pasal 14 ayat (1), telah melanggar Hak Konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Peraturan Perundang-undangan. Oleh karenanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor : SPDP/82/VI/2020/Reskrim, tanggal 05 Juni 2020, yang diterbitkan oleh Termohon haruslah dinyatakan Cacat Hukum dan Batal Demi Hukum.

2.    Penetapan tersangka atas diri Pemohon adalah TIDAK SAH, karena terkait surat penetapan tersangka oleh Termohon tidak mencantumkan tanggal penetapan surat tersebut.
2.1.    Bahwa penetapan Tersangka atas diri Pemohon ditegaskan dalam surat Keputusan Nomor : SKEP/82/VIII/2021/Reskrim tentang Penetapan Tersangka, yang diterbitkan oleh Termohon;
2.2.    Bahwa terkait surat tersebut di atas, Termohon tidak sama sekali mencantumkan tanggal surat penetapan, Termohon hanya mencantumkan bulan dan tahun diterbitkannya surat tersebut;
2.3.    Bahwa tindakan Termohon tersebut dipandang cacat hukum,  karena tidak memberikan kepastian hukum atas hak dari Pemohon;
2.4.    Bahwa terkait seseorang yang kemudian ditetapkan sebagai Tersangka, maka terhadap dirinya dapat dilakukan segala upaya paksa sebagaimana yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Sehingga dalam hal penyidik akan melakukan tindakan hukum dalam penyidikan yang berupa menerbitkan surat penetapan tersangka, seharusnya dilakukan dengan proporsional dan profesional sehingga tidak melanggar hak-hak tersangka dan juga memberikan kepastian hukum;
2.5.    Bahwa pentingnya mencantumkan tanggal dalam surat keputusan agar seseorang yang kemudian ditetapkan sebagai Tersangka dapat mengetahui sejak kapan dirinya ditetapkan sebagai Tersangka, juga dapat menghitung jatuh tempo penyerahkan surat-surat berkaitan lainnya. Hal ini demi dan untuk melindungi hak-hak seseorang sebagai tersangka dalam mempersiapkan upaya-upaya pembelaan oleh dirinya;
2.6.    Bahwa oleh karena Termohon tidak dapat memberikan kepastian hukum dalam menerbitkan surat penetapan Tersangka, maka terkait tindakan penyidikan oleh Termohon yang telah menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah cacat hukum dan batal demi hukum.
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis di atas, mohon kepada Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Tobelo yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini dengan amar sebagai berikut :
1.    Mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp-Sidik/92/VI/2020/Reskrim, Tanggal 05 Juni 2020; Yang mengakibatkan segala keputusan dan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon termasuk yang berkenaan dengan Penetapan Tersangka, Penyitaan, Penangkapan, Penahanan dan upaya paksa lainnya adalah Cacat Hukum dan Batal Demi Hukum;
3.    Menyatakan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor : SPDP/82/VI/2020/Reskrim, tanggal 05 Juni 2020, adalah Cacat Hukum dan Batal Demi Hukum;
4.    Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan proses penyidikan terhadap diri Pemohon;
5.    Menyatakan Penetapan status Tersangka yang dilakukan oleh Termohon cacat hukum, bertentangan dengan hukum dan tidak berkekuatan hukum;
6.    Memerintahkan kepada Termohon agar segera mengeluarkan/membebaskan Pemohon dari rumah tahanan Polres Halmahera Utara sejak putusan ini dibacakan;
7.    Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
8.    Memerintahkan  Termohon untuk mematuhi putusan dalam perkara ini;
9.    Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku;
10.    Pemohon  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Tobelo yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap perkara a quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan;
Apabila Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Tobelo yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

Hormat kami,
Kuasa Hukum Pemohon


Apriyanto R. Gihedemo,SH.

 

 

Pihak Dipublikasikan Ya